Add Facebook Follow Twitter RSS FEED Google+

Sabtu, 26 November 2011

Budi Luhur Karate Club (BLKC)


Budi Luhur Karate Club (BLKC) adalah salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Budi Luhur. BLKC berdiri sejak 28 Oktober 2007.

Sejak berdiri hampir empat tahun yang lalu BLKC telah banyak menghasilkan atlet-atlet karate yang berprestasi. Di buktikan dengan banyaknya medali yang di dapat. Serta banyaknya event-event karate yang diikuti. Mulai dari tingkat mahasiswa hingga tingkat nasional.

BLKC mengadakan latihan rutin setiap hari selasa, kamis dan sabtu jam 16.00 sd 19.00 wib. Latihan yang biasa dilaksanakan berupa latihan Kata,Komite serta Fisik.

Bapak Karate Modern Gichin funakoshi

Pada tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlakukan larangan pemilikan senjata bagi golongan pendekar. Tahun 1609 Kelompok Samurai Satsuma dibawah pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan tetap meneruskan larangan ini. Bahkan mereka juga menghukum orang-orang yang melanggar larangan ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-orang Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka menyebutnya) dan Ryukyu Kobudo (seni senjata) secara sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan pada malam hari untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun muncul masing-masing memiliki ciri khas yang namanya sesuai dengan arah asalnya, yaitu : Shurite , Nahate dan Tomarite.

Namun demikian pada akhirnya Okinawate mulai diajarkan ke sekolah-sekolah dengan Anko Itosu (juga mengajari Funakoshi) sebagai instruktur pertama. Dan tidak lama setelah itu Okinawa menjadi bagian dari Jepang, membuka jalan bagi karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk mengadakan demonstrasi karate di luar Okinawa bagi orang-orang Jepang.

Gichin Funakoshi sebagai Bapak Karate Moderen dilahirkan di Shuri, Okinawa, pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate pada Azato dan Itosu. Setelah berlatih begitu lama, pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan 1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengadakan demonstrasi di Butokukai yang merupakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat itu.Selanjutnya pada tahun 1921, putra mahkota yang kelak akan menjadi kaisar Jepang datang ke Okinawa dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi. Bagi Funakoshi undangan ini sangat besar artinya karena demonstrasi itu dilakukan di arena istana. Setelah demonstrasi kedua ini Funakoshi seterusnya tinggal di Jepang.

Selama di Jepang pula Funakoshi banyak menulis buku-bukunya yang terkenal hingga sekarang. Seperti "Ryukyu Kempo : Karate" dan "Karate-do Kyohan". Dan sejak saat itu klub-klub karate terus bermunculan baik di sekolah dan universitas.

Gichin Funakoshi selain ahli karate juga pandai dalam sastra dan kaligrafi. Nama Shotokan diperolehnya sejak kegemarannya mendaki gunung Torao (yang dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana dari sana terdapat banyak pohon cemara ditiup angin yang bergerak seolah gelombang yang memecah dipantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis sebuah nama "Shoto" sebuah nama yang berarti kumpulan cemara yang bergerak seolah gelombang, dan "Kan" yang berarti ruang atau balai utama tempat muridnya-muridnya berlatih.

Simbol harimau yang digunakan karate Shotokan yang dilukis oleh Hoan Kosugi (salah satu murid pertama Funakoshi), mengarah kepada filosofi tradisional Cina yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah tidur’’. Digunakan dalam karate Shotokan karena bermakna kewaspadaan dari harimau yang sedang terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang damai yang dirasakan Gichin Funakoshi ketika sedang mendengarkan suara gelombang pohon cemara dari atas Gunung Torao.

Sekalipun Funakoshi tidak pernah memberi nama pada aliran karatenya, murid-muridnya mengambil nama itu untuk dojo yang didirikannya di Tokyo tahun sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada sang guru. Selanjutnya pada tahun 1949 Japan Karate Association (JKA) berdiri dengan Gichin Funakoshi sebagai instruktur kepalanya.

Shotokan adalah karate yang mempunyai ciri khas beragam teknik lompatan (lihat Enpi, Kanku Dai, Kanku Sho dan Unsu), gerakan yang ringan dan cepat. Membutuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk melancarkan suatu teknik.

Gichin Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk menguasai manfaat dari kata. Dia memilih kata yang yang terbaik untuk penekanan fisik dan bela diri. Yang mana mempertegas keyakinannya bahwa karate adalah sebuah seni daripada olah raga. Baginya kata adalah karate. Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.

Hingga kini 4 besar aliran karate di Jepang yaitu Shotokan, Gojuryu, Wadoryu dan Shitoryu.

http://www.fokushotokan.com/sejarah.html

Nakayama - Antara Legenda & Kontroversi


Posturnya terlihat tegap dan kuat. Sorot matanya tajam, kadangkala terkesan dingin bagi beberapa orang. Sebagian mengaguminya sebagai figur yang berwibawa dengan keahlian karate yang tidak diragukan lagi. Sebagian membencinya karena tindakannya yang dianggap melanggar larangan sang guru. Kontroversial, adalah kata yang sering melekat padanya. Namun tidak diragukan lagi, dia juga salah satu loyalis dari Bapak Karate Moderen. Jika Funakoshi menyebarkan karate di Jepang, maka dirinya telah menyebarkan karate ke penjuru dunia.

Masatoshi Nakayama adalah salah satu tokoh awal karate Shotokan. Namanya terkenal karena merubah fungsi karate sebagai kompetisi olah raga, sebuah cita-cita yang tidak pernah diinginkan oleh Funakoshi yang menggunakan karate sebagai “do”. Dilahirkan di Prefektur Yamaguchi tanggal 13 April 1913, Nakayama masih mempunyai hubungan dengan klan Sanada yang legendaris. Keluarga Nakayama secara turun-temurun menguasai bela diri tradisional Jepang. Naotoshi (ayahnya) belajar judo sedangkan Naomichi (kakeknya) terkenal sebagai instruktur kendo ternama. Antusias pada bela diri agaknya mengalir dalam darah Nakayama yang juga berlatih kendo dan judo sejak anak-anak.

Saat usianya beranjak remaja, Nakayama pindah ke Taiwan untuk meneruskan sekolahnya. Sebagai anak muda yang bersemangat, Nakayama terlibat dalam banyak kegiatan klub seperti atletik, renang, tennis dan ski. Meski sangat sibuk Nakayama tidak melupakan latihan kendonya. Sang kakek sangat gembira melihat cucunya menggeluti bela diri yang sama dengannya. Dirinya berharap agar kelak Nakayama akan mengikuti jejaknya sebagai instruktur kendo. Namun ternyata hal lain justru ada dalam benak Nakayama. Belajar di Taiwan agaknya menimbulkan rasa penasaran sekaligus keinginan untuk pergi Cina. Namun saat itu tidak mudah mencapainya karena dibutuhkan biaya yang tinggi. Nakayama kemudian memilih Universitas Takushoku untuk mewujudkan impiannya. Saat itu lulusan Takushoku memang banyak dikirim ke negara Asia untuk bekerja atau sebagai wakil Jepang.

Tahun 1932 diam-diam Nakayama mengikui tes masuk di Universitas Takushoku dan berhasil lulus. Nakayama sangat beruntung karena Takushoku terkenal sebagai universitas dengan koleksi bela diri tradisional Jepang yang lengkap. Dengan demikian dirinya tidak perlu susah-susah melanjutkan latihan kendonya. Saat jadwal latihan untuk seluruh kegiatan klub akhirnya diterbitkan, Nakayama ternyata keliru membaca jadwal latihan kendo yang terbalik dengan karate. Begitu datang ke dojo, Nakayama baru menyadari bahwa dirinya hadir di hari yang salah. Meski kecewa, Nakayama tidak langsung pulang, melainkan ingin melihat latihan karate dari dekat.

“…Di surat kabar aku telah membaca tentang karate, namun aku tidak begitu banyak mengetahuinya, karena itu kuputuskan untuk duduk dan melihatnya sebentar. Tidak lama, seorang laki-laki tua datang ke dojo dan mulai memberi aba-aba pada para murid. Dia benar-benar sangat ramah dan tersenyum pada siapapun, tapi tidak diragukan lagi bahwa dia adalah instruktur kepala. Hari itu, aku melihat Master Funakoshi dan karate untuk pertama kalinya. Aku menyukainya dan karena itu aku ingin mencoba karate pada latihan berikutnya, karena dengan pengalamanku di kendo seharusnya karate akan lebih mudah. Pada latihan berikutnya, dua hal yang terjadi telah mengubah hidupku; Pertama, aku benar-benar telah lupa dengan kendo, dan kedua, aku menemukan bahwa seluruh teknik karate ternyata tidak mudah dikerjakan. Sejak hari itu hingga sekarang, aku tidak pernah kehilangan semangat untuk berusaha menguasai teknik karate-do.”

Begitulah, Nakayama kemudian mulai menjalani latihan karate di Takushoku yang terkenal paling berat dan melelahkan. Saat itu hanya ada dua macam latihan karate, yaitu memukul makiwara sekitar 1000 kali dan mengerjakan satu macam kata 50-60 kali. Latihan yang membosankan namun menuntut fisik dan semangat yang prima itu berlangsung selama 5 jam. Akibatnya tidak banyak murid yang mampu bertahan, hingga dalam waktu 6 bulan hanya tersisa sedikit saja. Nakayama terus bertahan dan mengerjakan seluruhnya tanpa mengeluh.

Setahun setelah Nakayama bergabung dengan klub karate, latihan kumite mulai diperkenalkan. Tahun 1933 berturut-turut gohon kumite (5 teknik), sanbon kumite (3 teknik) dan ippon kumite (1 teknik) mulai diajarkan. Nakayama yang sebelumnya telah belajar kendo tidak begitu kesulitan dengan latihan model baru ini. Tahun 1934 kumite setengah bebas (jiyu ippon kumite) diajarkan dan ternyata mendapat respon yang positif dari kalangan mahasiswa. Model kumite ini adalah inovasi dari Yoshitaka Funakoshi yang terinspirasi dari latihan kendo. Sayangnya Nakayama saat itu telah pergi ke Cina hingga tidak begitu lama merasakan jiyu ippon kumite. Saat itu latihan kumite dianggap sebagai pengusir kebosanan dengan latihan Funakoshi yang hanya fokus pada kihon dan kata saja.

Tahun 1937 menjadi tahun yang melelahkan namun menggembirakan bagi Nakayama. Saat itu Nakayama berhasil lulus dari Takushoku namun harus pergi ke Cina sebagai wakil pertukaran pelajar dengan Universitas Peking. Nakayama dipilih karena termasuk pemuda yang pandai, apalagi sebelumnya telah belajar bahasa Cina di sela kesibukan karatenya. Saat akan kembali ke Jepang, Nakayama ternyata harus menundanya karena bekerja untuk pemerintah Cina selama beberapa waktu. Tahun 1946 Nakayama baru kembali ke Jepang, setahun setelah negara itu mendapat mimpi buruk akibat kalah perang. Saat itulah Nakayama mendapati kenyataan pahit dengan banyak rekannya di dojo telah tewas. Meski sulit, Nakayama berusaha mengumpulkan mereka yang pernah aktif berlatih karate dan mencoba mengorganisir latihan seperti sebelum perang. Tahun 1947 Nakayama menjadi instruktur kepala di Takushoku menggantikan Funakoshi. Upaya Nakayama berhasil mengembalikan reputasi Takushoku sebagai yang paling aktif dalam karate sesama dojo universitas.

Angin perubahan dunia karate Jepang terjadi tahun 1949 saat dibentuk Japan Karate Association (JKA). Organisasi ini muncul setelah beberapa murid senior Funakoshi menginginkan satu wadah yang resmi karate. Lebih jauh untuk menyatukan seluruh praktisi karate Jepang yang tercerai berai pasca perang. Meskipun dalam JKA Funakoshi bertindak sebagai guru besar kehormatan, namun usia yang telah lebih dari 80 tahun membuatnya tidak mungkin bertindak sebagai instruktur. Karena itulah Nakayama dipilih sebagai instruktur kepala mewakili Funakoshi. Tidak lama sesudahnya, tahun 1952 bagian pendidikan jasmani di Takushoku meminta bantuannya sebagai staf pengajar. Posisi itu adalah awal karirnya, karena di masa mendatang Nakayama menjadi kepala di divisi tersebut.

Setelah Funakoshi meninggal dunia, Nakayama berperan besar dalam proses awal JKA hingga menjadi besar seperti sekarang. Selain sebagai instruktur kepala, Nakayama melakukan banyak riset dalam karate. Agaknya posisi yang dekat dengan dunia akademis membuat Nakayama tidak kesulitan dengan hal itu. Hasilnya adalah apa yang terlihat dalam JKA moderen saat ini tampil sebagai organisasi karate yang terbesar di dunia. Ada tiga hal utama yang dianggap sebagai inovasi terbaik dari Nakayama, yaitu: menyebarkan karate ke penjuru dunia, program pelatihan calon instruktur JKA dan kompetisi karate. Meski banyak mendapat repon positif, seluruhnya program itu masih menyisakan pro dan kontra bahkan hingga kini.

Untuk mendukung promosi Shotokan JKA, Nakayama menerbitkan banyak buku karate. Diantaranya adalah “Dynamic Karate” (1965, 2 volume), Best Karate (1977, 11 volume), “Katas of Karate” (5 volume) dan “Superior Karate” (11 volume).

http://www.fokushotokan.com/

Selasa, 22 November 2011

Karate Genapkan 10 Medali Emas

Kontingen Karate Indonesia menyapu bersih dua medali emas dari nomor Kumite beregu yang diperebutkan hari ini, Senin 14 November 2011. Setelah tim Kumite beregu putra menyabet emas usai mengalahkan Filipina, giliran tim Karate putri unjuk gigi di final dengan mengalahkan Malaysia.

Dengan perolehan dua emas di nomor Kumite beregu tersebut, kontingen Karate Indonesia berhasil menggenapkan perolehan medali di cabang Karate menjadi 10emas. Tim Kumite beregu putri Indonesia yang terdiri dari Nur Hadiyanti Fitrianingsih, Yulanda Asmuruf dan Martinel Prihastuti berhasil mematahkan Malaysia dengan skor 2-1 di babak final.

Nur Hadiyanti yang turun pertama melawan Jamalliah Jamaludin membuka kemenangan Indonesia dengan skor 1-0. Sayangnya, Yulanda Asmuruf yang tampil sesudahnya, harus mengakui keunggulan Gopalasamy Yamini dengan 1-2.

Beruntung, Martinel Prihastuti yang bertemu Krisnan Shakilla Sani Jefry di pertandingan ketiga mampu membuat pendukung Indonesia kembali bersorak. Martinel menang 4-2 atas Shakilla, sekaligus memenangkan Indonesia.

Sebelumnya, di nomor Kumite beregu putra, Umar Syarif dan kawan-kawan juga sukses menekuk tim Filipina di babak final dengan skor telak 3-0. Di final, Umar Syarif, Christo Mondolu, Hendro Salim, Jintar Simanjuntak, Donny Darmawan dan Yulizar Usia Motuty tampil penuh percaya diri.

Hendro Salim yang pertama turun melawan Ronnel Balingit, menang dengan perolehan angka 8-0. Pada laga kedua, Jintar Simanjuntak yang menghadapi Rexor Romaqui juga mampu mengatasi lawannya dengan skor 6-1.

Christo Mondulu yang kemarin gagal menyabet emas nomor individu akhirnya memastikan kemenangan Indonesia setelah mengalahkan Ramon Franco dengan 6-0. Filipina pun harus puas mendapatkan medali perak atas kekalahan 0-3 tersebut.

SEA Games momen kebangkitan karate


Mantan karateka nasional Tommy Firman menyatakan saat ini merupakan momen kebangkit cabang olahraga karate setelah mereka berbuat yang terbaik dalam SEA Games XXV yang sedang berlangsung.

"Ini harus menjadi momen kebangkitan prestasi atlet karate Indonesia. Tetapi untuk bangkit itu tidak harus menunggu menjadi tuan rumah. Keberhasilan ini harus terus dipertahankan pada saat SEA Games berikutnya di negeri orang," kata mantan atlet karateka, Tommy Firman, yang kini sebagai anggota DPR RI dan tetap mengamati perkembangan karate nasional.

Untuk itu, ia berharap dukungan pemerintah harus konsisten terhadap pembinaan dan penyediaan sarana dan prasarana agar regenerasi dan persiapan atlet dapat terus dilakukan secara berkesinambungan.

"Dukungan dari pemerintah harus konsisten dan jangan berfluktuasi. Kesinambungan dukungan yang nyata itu akan memberikan semangat dan harapan yang luar biasa bagi sukses atlet meraih prestasi seperti apa yang telah dipersembahkan cabang karate," ujarnya.

Tommy yang juga anggota DPR RI sangat mengapresiasi perjuangan keras yang dilakukan Umar Syarif dan kawan-kawan dalam mengembalikan citra kedigdayaan karate Indonesia yang pernah terukir pada masa lalu.

Hingga menjelang penutupan laga karate SEA Games XXVI, tim kumite beregu putra Indonesia berhasil menambah perolehan medali setelah dua hari sebelumnya mengemas delapan medali emas.

Delapan medali emas sebelumnya adalah dari kata perorangan putra (Faizal Zainuddin), kata perorangan putri (Flenty Enoch), kata beregu putra-putri, kelas +84 kilogram putra (Umar Syarif), kelas -60 kilogram kumite putra (Donny Dharmawan), -67 kilogram kumite putra (Jintar Simanjuntak) dan -68 kilogram kumite putri atas nama Yolanda Asmuruf.

Tommy pernah ikut berjuang ketika mengantarkan kontingen Indonesia tampil sebagai juara umum pada SEA Games 1997 di Jakarta dan ketika itu ia menyumbangkan dua medali emas.

"Tetapi setelah 1997 itu tak ada lagi prestasi tinggi dari karate. Paling-paling hanya mendapat tiga-empat medali emas. Bagaimana pun pembinaan harus tetap berjalan dan saya merasa sangat optimis melihat apa yang dilakukan oleh PB Forki ke depan," ujarnya.

"Kali ini mereka sangat wajar berhasil karena mereka telah melewati persiapan dan perjuangan yang panjang. Mereka sudah mengorbankan segalanya hanya untuk Merah Putih," tambah Tommy Firman.

http://www.antaranews.com/berita/284579/sea-games-momen-kebangkitan-karate