Posturnya terlihat tegap dan kuat. Sorot matanya tajam, kadangkala terkesan dingin bagi beberapa orang. Sebagian mengaguminya sebagai figur yang berwibawa dengan keahlian karate yang tidak diragukan lagi. Sebagian membencinya karena tindakannya yang dianggap melanggar larangan sang guru. Kontroversial, adalah kata yang sering melekat padanya. Namun tidak diragukan lagi, dia juga salah satu loyalis dari Bapak Karate Moderen. Jika Funakoshi menyebarkan karate di Jepang, maka dirinya telah menyebarkan karate ke penjuru dunia.
Masatoshi Nakayama adalah salah satu tokoh awal karate Shotokan. Namanya terkenal karena merubah fungsi karate sebagai kompetisi olah raga, sebuah cita-cita yang tidak pernah diinginkan oleh Funakoshi yang menggunakan karate sebagai “do”. Dilahirkan di Prefektur Yamaguchi tanggal 13 April 1913, Nakayama masih mempunyai hubungan dengan klan Sanada yang legendaris. Keluarga Nakayama secara turun-temurun menguasai bela diri tradisional Jepang. Naotoshi (ayahnya) belajar judo sedangkan Naomichi (kakeknya) terkenal sebagai instruktur kendo ternama. Antusias pada bela diri agaknya mengalir dalam darah Nakayama yang juga berlatih kendo dan judo sejak anak-anak.
Saat usianya beranjak remaja, Nakayama pindah ke Taiwan untuk meneruskan sekolahnya. Sebagai anak muda yang bersemangat, Nakayama terlibat dalam banyak kegiatan klub seperti atletik, renang, tennis dan ski. Meski sangat sibuk Nakayama tidak melupakan latihan kendonya. Sang kakek sangat gembira melihat cucunya menggeluti bela diri yang sama dengannya. Dirinya berharap agar kelak Nakayama akan mengikuti jejaknya sebagai instruktur kendo. Namun ternyata hal lain justru ada dalam benak Nakayama. Belajar di Taiwan agaknya menimbulkan rasa penasaran sekaligus keinginan untuk pergi Cina. Namun saat itu tidak mudah mencapainya karena dibutuhkan biaya yang tinggi. Nakayama kemudian memilih Universitas Takushoku untuk mewujudkan impiannya. Saat itu lulusan Takushoku memang banyak dikirim ke negara Asia untuk bekerja atau sebagai wakil Jepang.
Tahun 1932 diam-diam Nakayama mengikui tes masuk di Universitas Takushoku dan berhasil lulus. Nakayama sangat beruntung karena Takushoku terkenal sebagai universitas dengan koleksi bela diri tradisional Jepang yang lengkap. Dengan demikian dirinya tidak perlu susah-susah melanjutkan latihan kendonya. Saat jadwal latihan untuk seluruh kegiatan klub akhirnya diterbitkan, Nakayama ternyata keliru membaca jadwal latihan kendo yang terbalik dengan karate. Begitu datang ke dojo, Nakayama baru menyadari bahwa dirinya hadir di hari yang salah. Meski kecewa, Nakayama tidak langsung pulang, melainkan ingin melihat latihan karate dari dekat.
“…Di surat kabar aku telah membaca tentang karate, namun aku tidak begitu banyak mengetahuinya, karena itu kuputuskan untuk duduk dan melihatnya sebentar. Tidak lama, seorang laki-laki tua datang ke dojo dan mulai memberi aba-aba pada para murid. Dia benar-benar sangat ramah dan tersenyum pada siapapun, tapi tidak diragukan lagi bahwa dia adalah instruktur kepala. Hari itu, aku melihat Master Funakoshi dan karate untuk pertama kalinya. Aku menyukainya dan karena itu aku ingin mencoba karate pada latihan berikutnya, karena dengan pengalamanku di kendo seharusnya karate akan lebih mudah. Pada latihan berikutnya, dua hal yang terjadi telah mengubah hidupku; Pertama, aku benar-benar telah lupa dengan kendo, dan kedua, aku menemukan bahwa seluruh teknik karate ternyata tidak mudah dikerjakan. Sejak hari itu hingga sekarang, aku tidak pernah kehilangan semangat untuk berusaha menguasai teknik karate-do.”
Begitulah, Nakayama kemudian mulai menjalani latihan karate di Takushoku yang terkenal paling berat dan melelahkan. Saat itu hanya ada dua macam latihan karate, yaitu memukul makiwara sekitar 1000 kali dan mengerjakan satu macam kata 50-60 kali. Latihan yang membosankan namun menuntut fisik dan semangat yang prima itu berlangsung selama 5 jam. Akibatnya tidak banyak murid yang mampu bertahan, hingga dalam waktu 6 bulan hanya tersisa sedikit saja. Nakayama terus bertahan dan mengerjakan seluruhnya tanpa mengeluh.
Setahun setelah Nakayama bergabung dengan klub karate, latihan kumite mulai diperkenalkan. Tahun 1933 berturut-turut gohon kumite (5 teknik), sanbon kumite (3 teknik) dan ippon kumite (1 teknik) mulai diajarkan. Nakayama yang sebelumnya telah belajar kendo tidak begitu kesulitan dengan latihan model baru ini. Tahun 1934 kumite setengah bebas (jiyu ippon kumite) diajarkan dan ternyata mendapat respon yang positif dari kalangan mahasiswa. Model kumite ini adalah inovasi dari Yoshitaka Funakoshi yang terinspirasi dari latihan kendo. Sayangnya Nakayama saat itu telah pergi ke Cina hingga tidak begitu lama merasakan jiyu ippon kumite. Saat itu latihan kumite dianggap sebagai pengusir kebosanan dengan latihan Funakoshi yang hanya fokus pada kihon dan kata saja.
Tahun 1937 menjadi tahun yang melelahkan namun menggembirakan bagi Nakayama. Saat itu Nakayama berhasil lulus dari Takushoku namun harus pergi ke Cina sebagai wakil pertukaran pelajar dengan Universitas Peking. Nakayama dipilih karena termasuk pemuda yang pandai, apalagi sebelumnya telah belajar bahasa Cina di sela kesibukan karatenya. Saat akan kembali ke Jepang, Nakayama ternyata harus menundanya karena bekerja untuk pemerintah Cina selama beberapa waktu. Tahun 1946 Nakayama baru kembali ke Jepang, setahun setelah negara itu mendapat mimpi buruk akibat kalah perang. Saat itulah Nakayama mendapati kenyataan pahit dengan banyak rekannya di dojo telah tewas. Meski sulit, Nakayama berusaha mengumpulkan mereka yang pernah aktif berlatih karate dan mencoba mengorganisir latihan seperti sebelum perang. Tahun 1947 Nakayama menjadi instruktur kepala di Takushoku menggantikan Funakoshi. Upaya Nakayama berhasil mengembalikan reputasi Takushoku sebagai yang paling aktif dalam karate sesama dojo universitas.
Angin perubahan dunia karate Jepang terjadi tahun 1949 saat dibentuk Japan Karate Association (JKA). Organisasi ini muncul setelah beberapa murid senior Funakoshi menginginkan satu wadah yang resmi karate. Lebih jauh untuk menyatukan seluruh praktisi karate Jepang yang tercerai berai pasca perang. Meskipun dalam JKA Funakoshi bertindak sebagai guru besar kehormatan, namun usia yang telah lebih dari 80 tahun membuatnya tidak mungkin bertindak sebagai instruktur. Karena itulah Nakayama dipilih sebagai instruktur kepala mewakili Funakoshi. Tidak lama sesudahnya, tahun 1952 bagian pendidikan jasmani di Takushoku meminta bantuannya sebagai staf pengajar. Posisi itu adalah awal karirnya, karena di masa mendatang Nakayama menjadi kepala di divisi tersebut.
Setelah Funakoshi meninggal dunia, Nakayama berperan besar dalam proses awal JKA hingga menjadi besar seperti sekarang. Selain sebagai instruktur kepala, Nakayama melakukan banyak riset dalam karate. Agaknya posisi yang dekat dengan dunia akademis membuat Nakayama tidak kesulitan dengan hal itu. Hasilnya adalah apa yang terlihat dalam JKA moderen saat ini tampil sebagai organisasi karate yang terbesar di dunia. Ada tiga hal utama yang dianggap sebagai inovasi terbaik dari Nakayama, yaitu: menyebarkan karate ke penjuru dunia, program pelatihan calon instruktur JKA dan kompetisi karate. Meski banyak mendapat repon positif, seluruhnya program itu masih menyisakan pro dan kontra bahkan hingga kini.
Untuk mendukung promosi Shotokan JKA, Nakayama menerbitkan banyak buku karate. Diantaranya adalah “Dynamic Karate” (1965, 2 volume), Best Karate (1977, 11 volume), “Katas of Karate” (5 volume) dan “Superior Karate” (11 volume).
http://www.fokushotokan.com/